Perjuangan Belum Usai: Dosen Indonesia Didorong Aktif dalam Kebijakan Publik demi Kesejahteraan

0
162

Oleh  ; Novfirman

Metro Padang.com  – Kesejahteraan dosen bukan sekadar isu internal perguruan tinggi, melainkan bagian dari perjuangan panjang dalam menciptakan keadilan sosial melalui kebijakan publik. Melalui Studium Generale bertema “Mewujudkan Kesejahteraan Dosen Indonesia: Peran Kebijakan Publik dari Ruang Kampus”, para akademisi diingatkan bahwa kontribusi dosen muda dan senior sangat dibutuhkan dalam mendorong perubahan nyata untuk dunia pendidikan tinggi yang lebih adil.

Pada Jumat, 1 Agustus 2025, Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh (PPNP) menggelar Studium Generale yang menghadirkan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan kesejahteraan dosen. Kegiatan ini dibuka dengan sambutan oleh Ketua Panitia sekaligus Ketua DPC Asosiasi Dosen Akademik dan Vokasi Indonesia (ADAKSI) PPNP, Ibu Synthia Ona Guserike Afner, SP, M.P. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa “Perjuangan belum usai. Kita harus terus menyuarakan dan memberikan dukungan nyata untuk kesejahteraan dosen di Indonesia, karena ini bukan hanya perjuangan satu golongan, tapi perjuangan bersama seluruh pendidik bangs

Sambutan selanjutnya disampaikan oleh perwakilan PPNP, Prof. Dr. Edi Syafri, ST, M.Si, yang menyoroti pentingnya peningkatan kualitas dosen, khususnya dosen muda. Menurut beliau, peningkatan kompetensi dosen harus berjalan seiring dengan perbaikan kesejahteraan. “Kualitas pendidikan tidak akan maksimal jika dosen tidak mendapat perlindungan dan pengakuan yang layak. Sudah saatnya kita serius mengawal ini dari ruang kampus,” ujarnya.

Sesi inti menghadirkan narasumber nasional dari Asosiasi Dosen Akademik dan Vokasi Indonesia (ADAKSI). Dr. Fatimah, selaku Ketua Umum ADAKSI dan inisiator Pejuang Tukin, memaparkan perjalanan panjang perjuangan tunjangan kinerja (Tukin) dosen sejak tahun 2020 hingga 2025. Ia menekankan bahwa hasil yang diperoleh saat ini adalah buah dari konsistensi advokasi dan kerja kolektif seluruh dosen di Indonesia. “Tanpa tekanan kolektif dan data yang kuat, kebijakan tak akan berpihak,” tegasnya.

Anggun Gunawan, MA, Wakil Ketua Umum ADAKSI, turut menyampaikan bagaimana organisasi terus mengawal berbagai kebijakan yang berhubungan dengan dosen. Ia menekankan pentingnya solidaritas antar kampus dan peran aktif dosen dalam menyuarakan hak-haknya. “Kami di ADAKSI tidak hanya mengadvokasi, tapi juga membangun kesadaran dan kapasitas dosen agar bisa bernegosiasi dan berdiri sejajar dalam proses pembuatan kebijakan.”

Kegiatan ini menjadi ruang diskusi terbuka yang menggugah semangat kolektif para dosen untuk terus bergerak bersama. Dengan dihadiri oleh ratusan peserta, terutama dosen-dosen muda, Studium Generale ini membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kampus. Melalui suara akademisi yang kuat dan bersatu, kesejahteraan dosen bukan sekadar impian, tapi tujuan yang bisa dicapai bersama.

Dari Ruang Kampus Turun ke Jalan: Dosen Indonesia Tak Lagi Diam

Adaksi – Kesejahteraan bukan hadiah—ia adalah hak yang harus diperjuangkan. Di tengah tekanan beban kerja yang terus meningkat dan ketidakpastian status yang menghantui ribuan dosen di seluruh Indonesia, suara dari ruang kampus kini mulai menggema lebih keras. Pada Jumat, 1 Agustus 2025, Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh menjadi saksi semangat itu, dalam Studium Generale bertajuk “Mewujudkan Kesejahteraan Dosen Indonesia: Peran Kebijakan Publik dari Ruang Kampus.”

Acara ini dibuka penuh semangat oleh Ketua Panitia sekaligus Ketua DPC Asosiasi Dosen Akademik dan Vokasi Indonesia (ADAKSI) PPNP, Ibu Synthia Ona Guserike Afner, SP, M.P. Dengan nada tegas, ia menyampaikan bahwa perjuangan belum usai dan tidak akan berhenti hanya di seminar atau ruang kelas. “Jika ruang-ruang akademik tak lagi cukup menampung aspirasi kami, maka jalanan akan menjadi ruang baru perjuangan. Kita harus berdiri, bersuara, dan bergerak—untuk kesejahteraan kita semua,” serunya, disambut tepuk tangan riuh para peserta.

Dari pihak kampus, Prof. Dr. Edi Syafri, ST, M.Si menyampaikan bahwa peningkatan kualitas dosen, terutama dosen muda, sangat bergantung pada kepastian nasib mereka. “Tidak mungkin kami mencetak generasi hebat jika para pengajarnya dipinggirkan. Dosen butuh lebih dari sekadar pujian. Mereka butuh kebijakan yang berpihak,” ujarnya dengan nada prihatin namun penuh tekad.

Menguatkan semangat acara, hadir pula perwakilan dari DPW ADAKSI Wilayah Sumatera Barat, DPC ADAKSI LLDIKTI Wilayah X, dan DPC ADAKSI ISI Padang Panjang, membuktikan bahwa gerakan ini telah melampaui batas institusi. Tidak ketinggalan, berbagai mitra dari Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) turut hadir dan mendukung suksesnya acara, seperti Batik Kalincuang, Kelompok Wirausaha Harba Zumfakeya, Pusat Pelatihan Keterampilan Profesional Kompeten.id, serta penggerak ekosistem keilmuan seperti Green Engineering Society, Harau Insight, Markaz Cyber Syariah, dan dari mitra UMKM Dangau Abak. Kolaborasi ini menegaskan bahwa perjuangan dosen juga didukung penuh oleh ekosistem masyarakat produktif.

Suasana menjadi semakin menggugah saat Dr. Fatimah, Ketua Umum ADAKSI dan inisiator Pejuang Tukin, membagikan kisah perjuangan lima tahun terakhir. “Tahun 2020 kami mulai berjalan, kini kami berlari. Dari data, advokasi, hingga turun ke jalan. Kami tidak akan diam melihat ketidakadilan. Perjuangan tunjangan kinerja ini adalah simbol—bahwa dosen bisa dan harus bersatu untuk haknya,” katanya, membuat banyak peserta terdiam penuh empati.

Anggun Gunawan, MA, Wakil Ketua Umum ADAKSI, menegaskan bahwa perjuangan ini bukan musiman. “Kami tak ingin generasi dosen muda hanya mewarisi rasa lelah. Kami ingin mewariskan keberanian untuk bicara dan bergerak. Dari ruang kampus, turun ke jalan jika perlu. Ini tentang martabat pendidik bangsa,” ucapnya, menggugah semangat solidaritas para peserta.

Studium Generale ini bukan sekadar diskusi ilmiah—ia menjadi ruang pembangkitan kesadaran kolektif bahwa perubahan tidak akan datang jika dosen tetap diam. Dari ruang kelas ke ruang publik, dari meja kerja ke barikade kebijakan, para pendidik ini siap melangkah. Karena ketika ilmu tak lagi cukup untuk melindungi martabat, maka gerakan adalah bahasa paling jujur dari cinta terhadap profesi.

Kampus Memanggil: Dari Data yang Diabaikan ke Gerakan yang Menggema

Anonim – Hari itu, Jumat 1 Agustus 2025, Kampus Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh bukan sekadar ruang belajar—ia berubah menjadi medan perjuangan ide dan suara. Studium Generale bertema “Mewujudkan Kesejahteraan Dosen Indonesia: Peran Kebijakan Publik dari Ruang Kampus” menjadi ajang pembangkitan kesadaran: bahwa dosen Indonesia tak bisa lagi hanya menunggu perubahan. Mereka harus menciptakannya—meski harus turun ke jalan.

Synthia Ona Guserike Afner, SP, M.P, Ketua Panitia sekaligus Ketua DPC Asosiasi Dosen Akademik dan Vokasi Indonesia (ADAKSI) PPNP, membuka acara dengan penuh semangat juang. “Perjuangan belum selesai. Kalau suara kita tak didengar di ruang kebijakan, maka suara itu akan lebih lantang di ruang publik. Ini bukan soal siapa paling vokal, tapi siapa paling konsisten,” ujarnya dengan sorot mata tajam. Ia menegaskan bahwa dosen-dosen Indonesia harus saling menguatkan, karena tak ada kesejahteraan tanpa perlawanan.

Prof. Dr. Edi Syafri, ST, M.Si, perwakilan dari PPNP, menyampaikan pesan jujur dan menggetarkan. “Banyak dosen pesimis. Mereka bilang: buat apa berjuang, toh hasilnya sama saja. Tapi hari ini, kita buktikan bahwa perubahan itu mungkin. Kalian di sini adalah bukti bahwa api belum padam,” katanya. Ia mengajak dosen muda untuk tidak hanya cemerlang di ruang akademik, tapi juga tangguh dalam memperjuangkan nasib profesinya.

Semangat acara semakin membara dengan kehadiran perwakilan dari DPW ADAKSI Wilayah Sumatera Barat, DPC ADAKSI LLDIKTI Wilayah X, dan DPC ADAKSI ISI Padang Panjang, yang turut memperkuat solidaritas dan menyatukan gerakan lintas institusi. Kehadiran mereka bukan simbol seremonial—tetapi sinyal bahwa gerakan ini telah menjadi gelombang kesadaran kolektif yang tak bisa lagi dibendung.

Ketegangan meningkat saat Dr. Fatimah, Ketua Umum ADAKSI dan inisiator Pejuang Tukin, berbicara. Ia tidak hanya membawa cerita—ia membawa bukti. “Kami sudah serahkan data. Puluhan ribu dokumen, fakta di lapangan, beban kerja yang tidak sebanding dengan kesejahteraan. Tapi apa yang kami dapat? Diam. Sunyi. Seolah kami tak penting.” Suaranya bergetar, tapi matanya menyala. “Tapi kami tidak berhenti. Karena kami tahu, diamnya mereka harus dilawan dengan gerakan kita.”

Anggun Gunawan, MA, Wakil Ketua Umum ADAKSI, melanjutkan dengan nada yang menantang. “Ini bukan gerakan elitis. Ini gerakan hati nurani. Jika kita tidak bergerak sekarang, generasi dosen berikutnya akan mewarisi sistem yang sama bobroknya. Kami kawal, kami lawan, kami tuntut. Dari ruang kampus, sampai ke ruang sidang kebijakan,” tegasnya disambut tepuk tangan yang tak putus-putus.

Seminar ini berubah menjadi deklarasi semangat. Bukan sekadar forum akademik, melainkan titik balik kesadaran kolektif. Para dosen muda yang hadir tak lagi hanya mencatat materi—mereka mencatat sejarah. Bahwa hari itu, kampus bukan hanya tempat mengajar, tapi tempat memulai perjuangan.

Tak ada lagi ruang untuk ragu. Dosen Indonesia sedang bangkit. Dan jika mereka harus turun ke jalan demi haknya, maka itu bukan bentuk kemarahan—itu bentuk cinta. Karena mencintai profesi bukan berarti diam saat dihina, tapi berani berdiri saat diperlakukan tak adil. (02)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini