Nursal, (46) pengrajin sepatu dan sandal kulit dengan brand sepatu katidiang di Nagari Talaok, Kecamatan Bayang, Kabupaten Peisir Selatan (Pessel) Sumatera Barat (Sumbar) menceritakan kisah singkatnya memulai usaha.
Awalnya, Nursal mengaku tertatih-tatih. Modal usahanya yang minim melalui pinjaman KUR salah satu bank ternyata tidak menyurutkan langkah demi meraih kesuksesan.
“Saat itu, bekal saya hanya bermodal keterampilan. Itu saya dapatkan saat bekerja sama orang lain,” katanya.
Masih teringat olehnya, modal pertama untuk memulai usaha sepatu Katidiang tersebut sebanyak Rp15 juta. Semua uang yang dipinjam dari bank itu habis untuk membeli semua peralatan guna keperluan produksi sepatu.
“Itu modal sangat minim. Tidak cukup sebenarnya. Ini terjadi karena saya punya modal keterampilan membuat sepatu,” ucapnya.
Bahkan lebih menyedihkan lagi, ia sempat tidak memiliki uang sepersen pun pasca membeli sejumlah peralatan dan bahan pembuatan sepatu itu.
“Kalau diperturutkan sebetulnya masih banyak kebutuhan peralatan yang harus saya lengkapi. Tapi, karena modal kecil, saya beli alatnya yang inti-inti saja,” katanya.
Ke depan, ia bakal membutuhkan beberapa peralatan mesin untuk memaksimalkan produksi lebih cepat. Diantaranya, mesin semprot compresor, cutting manual, mesin press kapak dan pembuat nomor sepatu.
Kalau dihitung besaran dana yang dibutuhkan sekitar Rp50 juta. Tapi untuk sementara waktu, Nursal harus menahan keinginannya itu karena modal yang terbatas.
Usaha rumahan yang dirintis sejak 2015 lalu itu diakuinya juga berbekal dengan tekad dan kemauan yang tinggi.
Selain mengandalkan keterampilan, ia juga harus sabar agar produk-produk sepatu yang dibuat dengan berbagai model dan ukuran laku di pasaran.
Di ruang produksinya yang sederhana, ia hanya mampu memproduksi sepatu dua pasang dalam sehari. Kalau dibanding dengan perusahaan besar dalam produksi sepatu, rata-rata setiap orang hanya mampu memproduksi dua hingga pasang.
Hanya saja kata Nursal, kelebihan perusahaan dapat memproduksi sepatu dalam jumlah lebih besar karena memiliki karyawan yang banyak.
“Contohnya, salah satu perusahaan dapat memproduksi sepatu dalam sahari sebanyak empat ribu pasang. Sementara, jumlah karyawannya dua ribu orang. Itu artinya, satu orang hanya mampu produksi dua pasang sepatu sehari. Iya, itu sama dengan kita, cuma kita belum punya karyawan yang banyak,” ulasnya.
Sepasang sepatu buatan rumahan Nursal dijual dengan kisaran harga Rp350 ribu hingga Rp400 ribu. Bahkan, pembeli dapat melakukan pemesanan model sesuai keinginan.
Hal itu juga menjadi kelebihan tersendiri. Artinya, model sepatu yang dijual juga limited edition.
Lebih lanjut disampaikannya, produksi sepatu dan sandal kulit yang dilakoni membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah. Setidaknya, masyarakat dan pejabat maupun pekerja kantoran dapat membeli produk yang berasal dalam daerah sendiri.
Meski produk lokal, ia tak merasa yakin bahwa kualitas sepatu buatan rumahanya tidak kalah dengan produk-produk luar negeri.
“Saya juga siap bersaing untuk kualitas. Selama ini, memang saya lebih menjaga kualitas. Tak jarang pula, beberapa pelanggan pernah melakukan pemesanan berulangkali,” sambungya.
Sejak memulai usaha, sepatu pentofel, casual dan sandal berbahan dasar kulit tersebut telah terbang ke berbagai luar daerah Sumbar.
Nursal pernah mengirimkan pesanan pelanggan ke Bandung, Jakarta, Kalimantan hingga ke daerah perbatasan Malaysia. Dia dan istrinya Reswita (40) berkolaborasi untuk memajukan usaha industri kecil menengah yang dimiliki itu.
“Saya buat sepatunya, sementara istri sebagai marketingnya. Kami saling membantu saja, mudah-mudahan terus lancar orderannya,” tuturnya.
Seandainya, produk sepatu itu terus laku di pasaran bukan tidak mungkin Nursal dapat menyerap tenga kerja bagi warga setempat. Dia bahkan akan melakukan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat yang memiliki kesungguhan dalam mengembangkan usaha sepatu Katidiang itu. (mp)