Oleh: Fauzan Misra Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas
Pengaturan dan Peran Konsultan Pajak
Konsultan pajak mempunyai peran penting dalam sistem perpajakan. Simone, Sansing dan Seidman (2008) menyatakan bahwa manfaat bersama dari suatu program perpajakan tercapai ketika terjadi kombinasi biaya pemeriksaan oleh pemerintah dan biaya kepatuhan oleh wajib pajak yang rendah. Biaya rendah ini hanya terjadi jika wajib pajak tidak cenderung mengambil posisi pajak dengan dukungan yang lemah dan fiskus tidak akan menantang wajib pajak dengan posisi yang kuat. Konsultan pajak berperan sangat strategis dalam menjembatani tercapainya kepentingan ini melalui pemberian rekomendasi yang layak.
Konsultan pajak ikut menentukan kepatuhan pajak yang ditunjukkan oleh wajib pajak (Stephenson, 2010; Davos, 2012). Stephenson (2010) menemukan bahwa terdapat 4 motivasi utama wajib pajak menggunakan jasa konsultan pajak yaitu kepatuhan hukum, penghematan waktu, penghematan uang, dan perlindungan/ penghindaran dari pemeriksaan oleh IRS (Internal Revenue Service). Devos (2012) menemukan hubungan yang signifikan antara kebutuhan untuk melibatkan konsultan pajak dengan perilaku kepatuhan. Temuan-temuan tersebut menyiratkan bahwa untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai apakah dan bagaimana wajib pajak patuh dengan hukum pajak, penting untuk memahami bagaimana konsultan pajak membuat keputusan pajak untuk klien mereka. Kemudian, perkembangan kasus pajak terkini di beberapa negara mulai mengalihkan fokus perhatiannya pada perilaku konsultan pajak dalam upaya penegakan hukum dan pengurangan senjangan pajak (Hansen dan White, 2012). Di Indonesia, upaya peningkatan pengawasan dan akuntabilitas konsultan pajak dinyatakan sebagai salah satu tujuan diterbitkan PMK No. 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak. Dalam perkembangannya, regulasi ini diubah dengan PMK No. 175/PMK.01/2022.
Konsultan pajak mempunyai dua peran dalam sebuah sistem perpajakan yaitu sebagai agen pemerintah (enforcer) dan advokat bagi kliennya (exploiter) (Klepper et al., 1991). Profesional pajak adalah pembuat keputusan yang berorientasi-tujuan dengan insentif untuk mengusulkan dan mempertahankan posisi yang disukai klien (Cuccia dan McGill, 1990) dan membantu menstrukturisasi transaksi-transkasi klien dalam kondisi ambigu sesuai dengan permintaan klien (Klepper dan Nagin, 1989). Peran advokasi ini yang membedakan judgment dan pembuatan keputusan pajak dari domain akuntansi lainnya seperti pengauditan (Roberts, 1998). Meskipun demikian, AICPA (1995, 2008) menyiratkan bahwa peran advokasi tersebut tidak boleh mengabaikan objektivitas di dalam pencarian dan pengevaluasian informasi.
Motivasi dan Bias sebagai Profesional
Suddaby et al. (2009) menjelaskan terdapat dua bentuk motivasi atau komitmen dalam diri seorang profesional yaitu motivasi profesional dan motivasi komersial. Motivasi profesional mendorong persepsi diri mereka sebagai profesional yang kompeten, ingin terlihat sebagai arbitrer yang independen dan pelindung kepentingan publik. Kondisi ini kemudian akan mengarahkan konsultan untuk melakukan pencarian informasi dan rekomendasi secara layak dalam rangka mempertahankan kesan diri mereka sebagai profesional yang kompeten. Motivasi komersial memandang konsultasi sebagai jasa bisnis.
Dalam pemberian jasanya, konsultan pajak juga tidak lepas dari berbagai bias dalam pelaksanaan pekerjaannya. Standar profesional tidak melarang konsultan pajak bertindak untuk kepentingan klien sepanjang terdapat dukungan yang layak untuk posisi tersebut. Dalam faktanya, konsultan pajak lebih menunjukkan peran sebagai advokat klien dan menginterpretasi hukum berdasarkan kepentingan terbaik klien (AICPA, 1995, 2008). Salah satu bias yang banyak mendapat perhatian peneliti profesinal pajak adalah bias konfirmasi (confirmation bias). Bias konfirmasi menurut Nisbett dan Ross (1980) adalah kecenderungan umum pembuat keputusan untuk menyukai dan menganggap lebih penting, atau menilai, sebagai informasi yang lebih relevan terhadap informasi-informasi yang mendukung keyakinan awal atau kesimpulan yang diinginkan. Andre (2008) menyatakan bahwa konsultan pajak tidaklah kebal (immune) terhadap bias ini. Bukti empiris seperti Kadous et al., (2008), Wheeler dan Arunachalam (2008), Cloyd et al. (2012) mendukung argumen ini.
Bias konfirmasi dalam pencarian informasi dapat mengekspos klien dan konsultan pajak sendiri dalam berbagai risiko seperti sanksi dari pemerintah, rusaknya reputasi professional, dan kehilangan klien. Mempertimbangkan risiko yang dibawa oleh perilaku bias dan efeknya terhadap rekomendasi yang dihasilkan, maka penting untuk memitigasi bias konfirmasi yang mungkin timbul. Beberapa riset sebelumnya yang menawarkan beragam mekanisme mitigasi bias konfirmasi seperti proses kelompok (Schulz-Hardt et al., 2000), pengalaman pengambilan keputusan (Jones dan Sugden, 2001) dan penggunaan alat bantu keputusan (Wheeler dan Arunachalam, 2008). Misra et al. (2020) menunjukkan bahwa tekanan akuntabilitas dapat menjadi debiaser yang efektif dalam pencarian informasi dan pemberian rekomendasi oleh konsultan pajak.
Peran Interaksi Peer dalam Pemberian Jasa Konsultasi dan Pemitigasian Bias
Secara umum diakui bahwa praktisi pajak yang berbeda memiliki tingkat toleransi risiko yang berbeda (misalnya, Wurth & Braithwaite, 2018). Beberapa pertanyaan utama terkait praktisi pajak adalah:
bagaimana penilaian terbentuk saat berkonsultasi satu sama lain?
Bagaimana praktisi pajak berinteraksi dengan kolega saat mereka mencoba mengambil keputusan di area abu-abu dengan berbagai pilihan perencanaan pajak?
Bagaimana mereka memahami praktik konsultasi sejawat informal?
Bagaimana praktik ini dianggap sebagai norma, dan bagaimana praktik ini dipertahankan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat esensial untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang bagaimana tax expertise bekerja dalam konteks sosial, dalam hal ini membangun interaksi antar mereka dan melakukan pekerjaan mereka secara teknis sebagai praktisi. Interaksi antara mitra pajak dalam proses perencanaan pajak dengan demikian merupakan area abu-abu yang perlu mendapat perhatian lebih.
Dalam literatur Professional Service Firm (PSF)- seperti kantor konsultan pajak, Morris, Greenwood, dan Fairclough (2010) menyatakan bahwa meskipun mekanisme kontrol birokrasi yang lebih formal semakin berkembang, PSF “biasanya menganut nilai-nilai kontrol sejawat dan tetap menekankan pentingnya pemantauan diri secara profesional”. Trotman, Bauer, dan Humphreys (2015), dalam tinjauan mereka terhadap literatur eksperimental tentang topik-PSF, mencatat bahwa “konsultasi dengan auditor lain (yaitu, mencari dan memberi saran) adalah hal yang umum dan dapat mengurangi ketidakpastian tentang keputusan yang sulit dan membantu auditor mempertahankan posisi kepada berbagai pemangku kepentingan”.
Hasil studi kami baru-baru ini menemukan bahwa pola interaksi yang terhadi antar sejawat (peer) memengaruhi perilaku pencarian informasi oleh konsultan pajak. Selanjutnya, juga ditemukan bahwa interaksi antar peer ini juga memengaruhi rekomendasi dan kepercayaan diri konsultan dalam atas saran yang mereka berikan. Interaksi yang dibangun melalui informal norm dinilai lebih efektif dalam mendapatkan konsensus atau pertimbangan konsultan pajak. Yang lebih penting lagi, tipe interaksi ini lebih menciptakan bias konfimasi yang lebih rendah daripada interaksi peer secara mekanisme formal.
Temuan ini juga mengkonfirmasi temuan Mayer dan Gendron (2024) yang melakukan studi kualitatif terhadap para konsultan pajak. Kemudian, konsisten dengan Misra et al (2020), perilaku pencarian informasi yang lebih objektif membuat konsultan lebih berhat-hati (less-aggressive) dalam pemberian rekomendasi. Kahatian-hatian ini meningkatkan kepercayaan diri konsultan atas jasa yang diberikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa interaksi dan konsultasi internal yang terbangun di kantor konsultan pajak, yang mungkin juga berlaku bagi professional akuntansi lainnya seperti auditor, tidak hanya memudahkan pencapaian konsensus, akan tetapi juga membuat pekerjaan lebih objektif dan berkualitas. Dengan demikian, secara langsung atau tidak langsung, konsultan telah mengelola risiko profesinya- termasuk risiko litigasi. *