Dunia Kampus Terbakar Nurani: Mahasiswa Bangkit, Pemerintah Bungkam

0
373
Aksi solidaritas mahasiswa Universitas Columbia untuk Palestina. (Foto: Spencer Platt, Getty Images via chronicle.com)
iklan
Oleh: Nurlatifah Usman
          ( Mahasiswa  UICi  (Universitas Insan Cita Indonesia)

Metro Padang.com – Beberapa bulan terakhir, dunia kampus tidak lagi tenang. Di tengah keheningan diplomasi formal dan dinginnya ruang sidang PBB yang dipenuhi retorika tanpa tindakan, mahasiswa dari berbagai penjuru dunia justru memilih turun ke jalan. Mereka menduduki kampus, memblokade pintu universitas, bahkan mendeklarasikan zona-zona bebas penjajahan. Bukan karena mereka tak punya tugas kuliah tapi karena mereka punya hati nurani. Sesuatu yang tampaknya telah menjadi barang langka di ruang-ruang kekuasaan yang sibuk menjaga citra dan kepentingan.

Di Amerika Serikat, mahasiswa Columbia University membentuk Dr. Hussam Abu Safiya Liberated Zone sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang terang-terangan mendukung genosida di Gaza. Zona ini dinamai dari seorang dokter Palestina yang tetap merawat korban di tengah gempuran brutal Israel, sebagai bentuk solidaritas dan penolakan terhadap penjajahan.

Namun, alih-alih mendengar suara nurani mahasiswa, pemerintah justru merespons dengan represi, demonstran damai ditangkap, intimidasi meningkat, dan lembaga imigrasi seperti Immigration and Customs Enforcement (ICE) dikerahkan untuk menakut-nakuti aktivis.

Salah satunya Mohsen Mahdawi (Mahasiswa asal palestina), yang ditangkap saat menghadiri wawancara naturalisasi, meski tak melanggar hukum apa pun. Kasus Mahdawi menjadi bukti bahwa di negeri yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi, kebebasan berbicara hanya sah jika sejalan dengan agenda politik negara, dan solidaritas terhadap Palestina justru diperlakukan sebagai ancaman. Ketika solidaritas dilabeli sebagai subversi, dan kemanusiaan dianggap berbahaya, maka siapa sesungguhnya yang mengancam demokrasi?

Wisudawan Harvard bersolidaritas untuk Palestina (23/05/2024). (Charle Krupa/AP Photo)

Di Harvard, momen wisuda yang seharusnya menjadi simbol pencapaian akademik justru diubah mahasiswa menjadi panggung moral, ketika ratusan dari mereka meneriakkan “Free, Free Palestine” sambil mengibarkan bendera Palestina sebagai seruan kolektif bahwa mereka menolak menjadi generasi yang diam terhadap genosida. Aksi ini memicu reaksi keras dari Presiden Donald Trump, yang menyebut Harvard sebagai “a disgrace,” menuduhnya menyebarkan antisemitisme, dan membekukan dana federal senilai $2,2 miliar, termasuk hibah serta kontrak penelitian, bahkan menginstruksikan IRS untuk meninjau status bebas pajak universitas tersebut.

Ironisnya, mengibarkan bendera keadilan dianggap lebih berbahaya daripada menjual senjata ke rezim penjajah. Meski dihadapkan pada tekanan politik, Harvard menolak tunduk, mempertahankan kebebasan akademik, serta menentang intervensi pemerintah melalui jalur hukum. Peristiwa ini mencerminkan ketegangan tajam antara kebebasan akademik dan represi negara, sekaligus menegaskan bahwa mahasiswa di berbagai penjuru dunia terus menggunakan ruang-ruang akademik untuk menyuarakan solidaritas terhadap Palestina.

Tak berhenti di situ, pemerintah AS bahkan mulai memeriksa secara ketat aktivitas media sosial para pemohon visa, terutama mereka yang pernah mengunjungi wilayah Gaza atau berasal dari Timur Tengah. Menurut laporan Reuters (18 April 2025), Departemen Luar Negeri AS menginstruksikan agar setiap unggahan media sosial pemohon visa terutama yang mengandung dukungan terhadap Palestina disaring dan dianalisis secara mendalam. Jika ditemukan konten yang dianggap “mengganggu keamanan nasional”, visa bisa langsung ditolak atau bahkan dicabut.

Lebih lanjut, New York Magazine dan Axios mengungkapkan bahwa lebih dari 1.500 visa mahasiswa internasional telah dicabut sejak awal 2025. Banyak di antaranya berasal dari universitas terkemuka seperti Georgetown dan George Mason, yang menyatakan kehilangan sejumlah besar mahasiswa internasional karena visa mereka ditolak atau dibatalkan tanpa alasan jelas, diduga akibat aktivitas digital mereka yang menunjukkan solidaritas terhadap Palestina.

Kebijakan ini menuai kritik keras dari berbagai organisasi hak asasi manusia. American Civil Liberties Union (ACLU), bersama beberapa lembaga hukum lainnya, menggugat kebijakan tersebut, menyebutnya sebagai bentuk “pembungkaman ekspresi politik yang sah dan damai”, serta pelanggaran serius terhadap hak sipil dan kebebasan akademik mahasiswa asing. Mereka menegaskan bahwa dukungan terhadap Palestina bukanlah ancaman, melainkan hak menyatakan pendapat yang dijamin oleh hukum internasional dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini