Oleh: Rini Rahmahdian, SE., MSE
Dosen Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas
Perubahan iklim tidak lagi menjadi sekadar isu lingkungan, melainkan kenyataan ekonomi yang harus dihadapi dengan kebijakan publik yang cermat. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana cuaca ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan, dan banjir besar tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tetapi juga mengguncang kestabilan harga dan rantai pasok. Harga pangan melonjak ketika produksi menurun akibat anomali cuaca, sementara harga energi bergejolak karena ketergantungan pada bahan bakar fosil yang pasokannya terganggu. Akibatnya, inflasi tidak lagi murni bersumber dari faktor moneter, melainkan dari guncangan lingkungan yang semakin sering dan sulit diprediksi.
Dalam konteks ini, kebijakan moneter konvensional menghadapi tantangan baru. Bank sentral dituntut tidak hanya menjaga inflasi, tetapi juga mempertimbangkan risiko sistemik yang timbul dari perubahan iklim. Di sinilah pentingnya gagasan kebijakan moneter hijau atau green monetary policy, yaitu integrasi dimensi keberlanjutan dalam kerangka stabilitas makroekonomi.
Secara teoritis, transisi menuju ekonomi hijau dapat menciptakan fenomena inflasi yang dikenal sebagai greenflation. Ketika negara berupaya mengurangi emisi karbon, harga energi fosil melonjak sementara biaya investasi teknologi bersih meningkat. Fenomena ini membuat sebagian pihak khawatir bahwa kebijakan ramah lingkungan justru dapat menjadi sumber inflasi baru. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang perekonomiannya masih bergantung pada energi fosil, kekhawatiran ini terasa masuk akal. Namun hasil kajian yang kami lakukan menunjukkan bahwa greenflation bukanlah ancaman permanen. Tekanan harga akibat kebijakan hijau hanya bersifat sementara dan pada jangka panjang justru berkontribusi terhadap stabilitas harga.
Aliran pembiayaan hijau ke sektor energi terbarukan dapat meningkatkan efisiensi sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor energi. Pergeseran menuju industri dan pertanian rendah emisi menurunkan biaya produksi secara bertahap. Dengan demikian, transisi hijau bukan penyebab inflasi abadi, melainkan dapat dipandang sebagai investasi menuju struktur ekonomi yang lebih tangguh dan efisien.
Selama ini, stabilitas moneter seringkali diartikan sempit, yaitu sekadar menjaga inflasi tetap rendah dan nilai tukar terkendali. Namun krisis iklim menuntut peninjauan ulang atas makna stabilitas itu sendiri. Bagaimana mungkin ekonomi dianggap stabil bila produksi pangan terus terganggu oleh banjir dan kekeringan, atau harga energi melonjak karena kebijakan karbon global? Stabilitas harga tanpa stabilitas lingkungan hanyalah ilusi.
Bank sentral perlu memperluas cakrawala kebijakan. Menjaga inflasi kini berarti juga menjaga ketahanan ekonomi terhadap risiko iklim. Dalam arti ini, kebijakan moneter hijau bukanlah gerakan politis, tetapi merupakan langkah rasional dalam menghadapi sumber ketidakpastian baru yang nyata.
Beberapa bank sentral di dunia telah mengakomodasi aspek keberlanjutan dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Bank of England, European Central Bank, dan Banque de France memasukkan risiko iklim dalam analisis kebijakan moneter mereka. European Central Bank bahkan menyesuaikan program pembelian aset dengan memberi bobot lebih pada obligasi perusahaan beremisi rendah. Di Asia, Bank Negara Malaysia dan Bank Sentral Tiongkok memperkenalkan fasilitas pembiayaan hijau yang memberi insentif likuiditas bagi bank yang menyalurkan kredit ke proyek ramah lingkungan. Di Indonesia, Bank Indonesia telah memulai inisiatif keuangan berkelanjutan dan mengeluarkan panduan green taxonomy sebagai rujukan sektor keuangan nasional. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengintegrasikan pertimbangan lingkungan secara eksplisit dalam operasi moneter dan kebijakan stabilitas harga.
Hasil kajian kami menunjukkan bahwa pembiayaan hijau dapat berjalan seiring dengan stabilitas harga. Meski pada awalnya menciptakan tekanan inflasi jangka pendek, efek tersebut berangsur mereda dan berubah menjadi faktor yang menurunkan inflasi dalam jangka panjang. Temuan ini memperkuat pandangan bahwa Bank Indonesia dapat menjalankan kebijakan moneter hijau tanpa mengorbankan mandat utama pengendalian inflasi.
Sebaliknya, jika aspek lingkungan diabaikan, risiko inflasi jangka panjang justru meningkat. Krisis energi, bencana alam, dan ketergantungan pada bahan bakar fosil akan terus memicu gejolak harga yang sulit dikendalikan dengan instrumen moneter konvensional. Karena itu, integrasi kebijakan hijau bukan hanya pilihan moral, melainkan strategi ekonomi yang pragmatis. Menjaga inflasi kini juga berarti menjaga keberlanjutan sumber daya yang menopang perekonomian.
Bank Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat peran tersebut. Kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mendorong instrumen pembiayaan hijau dalam operasi pasar, memberikan insentif likuiditas bagi lembaga keuangan yang menyalurkan kredit ramah lingkungan, menilai ulang risiko aset dan kolateral berdasarkan jejak karbon, serta memperkuat koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal agar transisi energi berlangsung tanpa menimbulkan tekanan harga yang berlebihan. Selain itu, peningkatan literasi keuangan berkelanjutan juga penting agar pelaku pasar memahami bahwa investasi hijau bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan struktural ekonomi jangka panjang.
Transisi menuju ekonomi hijau sering dianggap sebagai beban karena memerlukan biaya tinggi dan perubahan besar dalam pola investasi. Padahal di baliknya tersimpan peluang reformasi struktural yang besar. Indonesia memiliki potensi luas dalam pengembangan energi terbarukan, keuangan syariah hijau, pertanian berkelanjutan, dan industri berbasis bioekonomi. Dengan dukungan kebijakan moneter yang berpihak pada investasi hijau, sektor-sektor ini dapat menjadi sumber pertumbuhan baru yang tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi terhadap guncangan global.
Kebijakan moneter hijau berperan sebagai jembatan antara stabilitas jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang. Kebijakan hijau membantu memperkuat daya tahan sistem keuangan, menurunkan risiko pembiayaan, dan memperluas ruang kebijakan makro untuk menavigasi perubahan global yang semakin cepat. Dalam konteks ini, menjaga stabilitas harga berarti juga menjaga stabilitas bumi tempat kita hidup. Kebijakan moneter hijau membuka jalan bagi bentuk stabilitas yang lebih luas, yaitu stabilitas yang tidak hanya mengatur angka inflasi, tetapi juga melindungi fondasi kehidupan ekonomi itu sendiri, yaitu bumi yang lestari, energi yang berkelanjutan, dan masyarakat yang tangguh menghadapi perubahan iklim.
(*)
 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini