Pauline Hanson bergabung pada protes anti-imigran di Canberra
(Sumber: Dokumentasi Graham Readfearn)
Oleh : Mindo Yulina Hutagalung Fakultas : Ilmu Budaya, Universitas Andalas
metropadang.com – Dalam beberapa bulan terakhir, dukungan terhadap Partai One Nation kini melonjak tajam, seiring meningkatnya kekhawatiran publik terhadap melonjak imigrasi di Australia. Pauline Hanson, pemimpin partai One Nation berhasil memanfaatkan keresan publik perihal tekanan ekonomi, ketegangan identitas nasional dan tekanan ekonomi. Terjadinya pergeseran besar yang menunjukkan dukungan terhadap One Nation jika dibandingkan pemilu federal sebelumnya.
Demo besar-besaran di Australia (Dokumentasi: tvOnenews.com)
Partai One Nation sejak lama dikenal yang menolak terhadap imigrasi dan multikulturalisme, Pauline Hanson, menegaskan bahwa pemerintah telah gagal mengarahkan jumlah imigran yang masuk tiap tahun. Ia menyalahkan bahwa krisis yang terjadi pada saat ini disebabkan tingginya imigrasi, lapangan pekerjaan semakin sedikit, bahkan harga rumah semakin tinggi, dan layanan harga publik semakin terbebani. “Sistem imigrasi Australia rusak. Populasi kita telah melonjak melampaui 27 juta, membanjiri perumahan, infrastruktur, dan layanan penting. Upah stagnan, kepemilikan rumah semakin sulit dijangkau, dan warga Australia terpaksa bersaing dengan tenaga kerja asing yang murah.” ujar Pauline Hanson’s One Nation.
Pada platform politiknya, One Nation mengusulkan pembatasan jumlah imigran menjadi 130.000 orang per tahun, bahkan menginginkan para imigran untuk dapat mengakses kewarganegaraan dalam kurun waktu yang lama. Selain itu One Nation mengkritik pada visa pelajar dan pekerja untuk pengetatan tinggal permanen. Semakin terlihat nyata bahwa dukungan publik terhadap mereka, berdasarkan survei Lowy Institute 2025 bahwa tingkat imigrasi terlalu tinggi. Di daerah seperti Western Sydney, banyak penduduk mengaku khawatir pada pertumbuhan populasi dari imigrasi mengubah krisis perumahan bahkan kemacetan. Hasil ini menjadi bahan dukungan bagi populis One Nation yang sederhana, emosional, dan mudah dimengerti oleh masyarakat kelas menengah dan pekerja.
Naik daunnya dukungan terhadap One Nation juga mencerminkan ketidakpuasan masyarakat pada partai-partai besar seperti Partai Buruh (Labor) dan Partai Liberal. Para publik menganggap bahwa kedua partai ini terlalu mengabaikan persoalan sosial, yang lebih berfokus pada global dan ekonomi. Dalam konteks ini, One Nation berjaya sebagai suara rakyat biasa yang menolak kebijakan yang dianggap tidak adil bagi mereka.
Wakil Perdana Menteri Victoria Ben Carroll menambahkan, “Migrasi adalah rahasia kesuksesan negara bagian kami. Para migran harus dirayakan, bukan disalahkan.” Kebangkitan One Nation juga membuat kekhawatiran dari berbagai pihak. Banyak kelompok hak asasi manusia dan pengamat sosial melihat bahwa retorika anti-imigrasi yang diusung Hanson dapat memperburuk perpecahan sosial dan menyemangati diskriminasi terhadap komunitas migran. Pandangan ini mengaitkan imigrasi dengan masalah ekonomi dan keamanan sering kali memperkuat stereotip negatif terhadap para imigran, terutama mereka yang berasal dari Asia dan Timur Tengah.
Selain itu, para ekonom menegaskan bahwa pengurangan imigrasi secara besar-besaran dapat mengakibatkan dampak negatif pada perekonomian Australia. Terbukti bahwa Australia bergantung pada tenaga kerja migran di berbagai sektor penting seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, dan perhotelan. Apabila kebijakan yang diusulkan One Nation diterapkan, kekurangan tenaga kerja bisa terjadi dan menahan pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka berpendapat bahwa masalah utama bukanlah jumlah migran, melainkan kurangnya kebijakan perumahan dan infrastruktur yang memadai untuk menampung populasi yang bertambah.
Di sisi lain, sebagain pandangan warga tetap melihat Hanson sebagai figur yang berani menyuarakan hal-hal yang dihindari oleh politisi lain. Ia dikenal keras dan tidak takut mengoreksi pemerintah, meskipun sering terjerat kontroversi. Pendukungnya melihat Hanson sebagai simbol keberanian untuk menolak sistem politik yang menyimpulkan mereka tidak mendengar aspirasi rakyat kecil. “Kami tidak menolak imigran, tetapi kami ingin memastikan bahwa mereka datang dengan cara yang benar, dan jumlahnya tidak melebihi kemampuan negara ini.” kata Hanson dalam salah satu pidatonya di Brisbane.
Perjuangan One Nation juga sejalan dengan tren global di mana partai-partai populis dan nasionalis terlihat mendapat tempat di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi dan sosial. Dari Amerika Serikat hingga Eropa, isu imigrasi menjadi bahan bakar politik yang efektif untuk menarik simpati pemilih yang merasa tertinggal. Di Australia, fenomena ini menggambarkan keadaan krisis keamanahan terhadap institusi politik dan keresahan mereka terhadap masa depan mereka nanti.
Saat ini, pemerintah Australia mengahadapi persoalan besar untuk kembali menenangkan kekhawatiran publik tanpa mengorbankan nilai-nilai multikultural yang menjadi kebanggaan mereka sejak lama. Isu imigrasi bukan sekedar persoalan angka, tetapi juga tentang siapa yang benar-benar dianggap menjadi “bagian dari Australia” dan bagaimana Australia dibentuk oleh kedatangan para imigran dari berbagai negara. Bagaimana Australia akan tetap menjadi negara terbuka yang ramah bagi orang asing, atau justru menahan diri demi stabilitas sosial, pastinya akan menjadi pertanyaan besar di negara ini dalam politik beberapa tahun mendatang.