metropadang.com – Dalam era digital saat ini, bisnis tidak hanya dituntut untuk berorientasi pada keuntungan ekonomi semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek etika yang mendasari setiap tindakan dan keputusan perusahaan.
Kemajuan teknologi yang begitu cepat memberikan pengaruh signifikan terhadap metode perusahaan dalam mengelola operasional, menjalin hubungan dengan pelanggan, mitra, serta masyarakat umum. Karena itu, pemahaman mengenai prinsip-prinsip etika menjadi krusial agar kegiatan bisnis dapat berlangsung secara berkelanjutan, bertanggung jawab, dan tetap memperoleh kepercayaan dari publik.
Kata etika, seringkali disebut dengan kata “etik’, atau ‘ethics’ dalam Bahasa Inggris yang mengandung banyak pengertian. Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan.
Etika secara umum dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari nilai-nilai, prinsip, dan norma yang mengatur perilaku manusia agar bertindak benar dan baik, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Terence Irwin, seorang pakar filsafat dari Oxford University mengatakan “Ethics is not primarily about rules or laws, but about the development of character in pursuit of the highest human good.” Artinya etika adalah ilmu yang tidak hanya berbicara masalah norma dan hukum, tapi lebih kepada perkembangan karakter manusia dalam menentukan tindakan yang baik dan benar untuk mencapai kebahagiaan (Irwin, 1999).
Dalam kehidupan beragama, maka standar etika adalah berdasarkan nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat tertentu. Sehingga etika merupakan acuan tentang bagaimana seseorang berperilaku/berakhlak sesuai dengan nilai-nilai yang di anut oleh agama tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan pada Tuhan Yang Maha Esa, kepada manusia, dan lingkungannya. Dalam agama Islam, standar etika tertinggi seseorang adalah Alquran dan sunnah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa etika merupakan norma/aturan/penilaian/batasan/acuan/standar tentang bagaimana seseorang berperilaku/berakhlak agar sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai agama pada masyarakat tertentu.
Dalam era digital yang terus berkembang pesat, peran manajemen tidak lagi sekadar mengarahkan dan mengelola sumber daya, tetapi juga harus mampu menanamkan nilai-nilai etika dalam setiap aspek pengambilan keputusan dan budaya organisasi.
Etika dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan fondasi penting dalam menjaga integritas dan keadilan dalam hubungan antara perusahaan dan karyawan. Dalam lingkungan kerja modern yang semakin kompleks dan digital, penerapan prinsip etika menjadi semakin krusial untuk menciptakan iklim kerja yang sehat, adil, dan berkelanjutan. Manajemen yang mengabaikan aspek etika berisiko menghadapi penurunan motivasi karyawan, konflik internal, serta kerusakan reputasi organisasi.
Manager Sumber Daya Manusia (SDM) dan staf SDM harus menyesuaikan diri dengan dinamika teknologi, perubahan perilaku konsumen, serta tantangan etika yang muncul dari inovasi dan transformasi digital yang sangat cepat.
Etika dalam Manajemen Sumber Daya Manusia merujuk pada seperangkat nilai moral yang menjadi dasar dalam mengelola karyawan. Etika dalam fungsi SDM berkaitan dengan pembuatan keputusan yang etis pada setiap level proses Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), meliputi proses perekrutan, seleksi, penempatan, pengembangan karyawan, evaluasi kinerja, penggajian yang profesional, fasilitas yang memadai, kesehatan dan keselamatan kerja, kenyamanan, perlakuan terhadap karyawan yang menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, keterbukaan, serta tanggung jawab.
Mathis dan Jackson (2011) menyatakan bahwa etika kerja mencerminkan norma perilaku yang diterima dalam lingkungan organisasi, yang berperan penting dalam menciptakan hubungan kerja yang profesional dan harmonis.
Pihak Manajemen SDM harus berkomitmen membangun budaya organisasi yang beretika sehingga mampu mewujudkan hubungan yang etis, sehat dan kuat antara karyawan dan pihak manajemen SDM, saling bekerja sama serta saling bertanggung jawab dalam memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.
Hak – hak utama pekerja yang harus dipenuhi adalah hak atas upah dan kompensasi yang adil, hak untuk berserikat dan berkumpul serta menjadi media advokasi bagi pekerja, hak mendapatkan perlindungan keamanan dan kesehatan, hak untuk diproses hukum secara sah, hak untuk diperlakuan secara sama, hak diterima, dihargai, dan diakui di dalam organisasi,hak mendapatkan lingkungan kerja yang sehat, hak atas rahasia pribadi, dan hak atas kebebasan bersuara.
Beberapa prinsip dasar dalam etika MSDM antara lain adalah keadilan dan kesetaraan, di mana setiap karyawan harus diperlakukan tanpa diskriminasi jenis kelamin, agama, usia, ras, atau latar belakang lainnya. Transparansi juga sangat penting dalam keterbukaaan menyampaikan kebijakan perusahaan dan sistem penilaian kinerja, serta sistim promosi dan penghargaan prestasi kerja karyawan.
Selain itu, kerahasiaan informasi pribadi karyawan harus dijaga dengan ketat, agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, serta untuk menjaga kepercayaan karyawan terhadap perusahaan dalam pengelolaan data dan informasi yang bersifat sensitif.
Kejujuran dalam proses manajemen juga menjadi dasar yang tidak boleh diabaikan. Kejujuran penting untuk menjaga integritas dalam komunikasi dan pengambilan keputusan. Sementara itu, tanggung jawab mengarahkan setiap pihak untuk mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap karyawan dan lingkungan kerja secara keseluruhan.
Dalam praktiknya, kemajuan teknologi juga membawa tantangan baru dalam penerapan etika MSDM. Beberapa masalah yang kerap muncul antara lain terlanggarnya privasi data karyawan, bias algoritma dalam proses perekrutan, minimnya keterbukaan dalam pengolahan data, hingga pengambilan keputusan otomatis yang berpotensi merugikan individu tertentu. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memiliki sistem yang mampu mengelola risiko-risiko etis tersebut secara bijak.
Penerapan etika dalam MSDM dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menyusun kode etik perusahaan, memberikan pelatihan etika kepada manajer dan staf HR, menyediakan mekanisme pelaporan pelanggaran etika yang aman, serta melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan dan praktik kerja. Misalnya, sebuah perusahaan teknologi besar yang menggunakan sistem kecerdasan buatan (AI) untuk menyaring pelamar kerja menemukan adanya bias gender dalam proses seleksi. Dalam kasus ini, perusahaan perlu mengaudit sistem tersebut dan memperbaikinya agar dapat digunakan secara adil dan bertanggung jawab.
Kesimpulannya, etika dalam MSDM bukan sekadar aturan formal, melainkan komitmen moral untuk memperlakukan setiap individu dalam organisasi dengan adil dan bermartabat. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip etika ke dalam seluruh proses manajemen SDM, organisasi dapat membangun kepercayaan, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan tempat kerja yang inklusif serta berkelanjutan. Lebih jauh lagi, dengan memahami dan menerapkan etika dalam pengelolaan sumber daya manusia, organisasi tidak hanya membangun kepercayaan internal, tetapi juga memperkuat reputasi eksternal sebagai tempat kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan profesionalisme.
Sebagai penutup, penerapan etika dalam manajemen sumber daya manusia bukan hanya merupakan tuntutan profesionalisme, tetapi juga wujud tanggung jawab moral dan spiritual. Dalam perspektif Islam, keadilan, kejujuran, dan penghargaan terhadap hak-hak pekerja merupakan nilai fundamental yang harus dijunjung tinggi.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa: 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,” maka sudah sepatutnya para manajer dan praktisi SDM menunaikan amanah pengelolaan tenaga kerja dengan penuh integritas dan keadilan demi menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan berkah.
Mathis, R. L., & Jackson, J. H. (2011). Human Resource Management (13th ed.). South-Western Cengage Learning.
Irwin, Terence (1999), Introduction to Nicomachean Ethics), Hackett Publishing